Archives


Like us

Blogger news

About

Blogroll

Langsung ke konten utama

Filosofi Motif Pinto Aceh


Pinto Aceh atau Pinto Khop adalah ragam hias atau motif khas Aceh yang terkenal di Indonesia khusus aceh. 

Motif dan Makna Dibalik Motif Pinto Khop atau Pinto Aceh

Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Talinda Arini Fitrah pada tahun 2021, menjelaskan tentang makna dibalik motif Pinto Aceh yang mana motif Pinto Aceh banyak mengandung unsur-unsur flora dan fauna :

A. Pucok paku (daun pakis), menjelaskan bahwa di Aceh banyak terdapat daun paku yang sering untuk makanan sehari- hari terutama sebagai bekal untuk perang. 

B. Oen (daun), motif yang sering digunakan masyarakat Aceh untuk membuat seni ukir. Motif tumbuhan digunakan, alih-alih hewan, untuk menjaga kesopanan dan keanggunan. 

C. Bungong meulu (bunga meulu), motif ini menggambarkan bahwa bentuk keindahan, serta bunga ini terdapat 4 kelopak yang berarti kesucian bumi, kesuburan, keharuman dan juga bentuk kesucian masyarakat Aceh. 

D. Boh eungkot (telur ikan), motif ini digunakan untuk menggambarkan penduduk Aceh yang bermata pencaharian sebagai nelayan, serta menggambarkan Aceh yang kaya akan hasil lautnya. 

E. Pucok reubong (tunas bambu muda), menggambarkan kemakmuran, dimana di Aceh terdapat banyak persawahan, perkebunan dan ladang yang menjadikan tempat mata pencaharian masyarakat Aceh. 

F. Garis lengkung, menurut sejarawan garis lengkung ini adalah bulan sabit yang mempresentasikan soal keagamaan terutama yang kental dalam kehidupan masyarakat Aceh. 

Sejarah Awal Pinto Aceh

Berbicara mengenai sejarah awal munculnya perhiasan Pinto Aceh, perhiasan motif Pinto Aceh ternyata sudah muncul pada 1926, ketika pemerintah kolonial Belanda di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) menyelenggarakan settling (pasar malam) terbesar yang digelar di Esplanade (lapangan Blang Padang). Di pasar malam tersebut pihak Belanda memberi kesempatan kepada para pengrajin emas dan perak untuk membuka stand-nya, guna memamerkan hasil kerajinan serta karya keterampilan tangan mereka. 

Setelah pasar malam itu selesai, seorang perajin emas dan perak bernama Mahmud Ibrahim (Utoh Mud), penduduk Blang Oi Banda Aceh, mendapat sertifikat dari panitia settling. 

Karena kemahiran dan keterampilannya dalam seni tempa emas. Para pejabat Belanda dan keluarga mereka sering memesan atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh pada Utoh Mud. Kala itu, Utoh Mud dapat ditemui di pusat usaha kerajinan perhiasan, di Jalan Bakongan, Kutaraja. Bangunan tersebut kemudian dibongkar untuk perluasan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Sebagai seorang pengrajin perhiasan emas, Utoh Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi dari pemerintah Belanda itu, pada 1935 menciptakan sebuah perhiasan baru, yaitu Pinto Aceh yang motifnya diambil dari bangunan Pinto Khop. 

Pada saat itu Utoh Mud hanya membuat satu jenis perhiasan saja berupa perhiasan bros, perhiasan yang sebelumnya memang sudah ada di antara jenis-jenis perhiasan emas tradisional Aceh selain motif Pinto Aceh. Bros Pinto Aceh yang meniru Pinto Khop, bentuknya agak ramping dengan jeruji-jerujinya yang dihiasi motif suluran daun, ditambah lagi dengan rumbai-rumbai sebagai pelengkap pada kedua sisi perhiasan.

Sejak saat itu, Pinto Aceh terus menjadi perhiasan yang sangat populer dan juga paling diminati, tak hanya oleh kaum perempuan di Aceh, melainkan juga oleh perempuan di luar Aceh. 

Dan kini sebagian besar pelancong baik laki-laki maupun perempuan yang berkunjung ke Aceh seperti dari Jakarta, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, jika ingin membeli perhiasan khas Aceh, bisa dipastikan yang dicari adalah perhiasan bermotif Pinto Aceh sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke negerinya. Itu pula sebabnya, hingga sekarang Pinto Aceh masih terus ditempa dengan motif yang semakin halus dan indah, dibandingkan perhiasan Pinto Aceh produksi era 1960 an hingga 1980 an.

Pada tahun 2015, Pinto Aceh dinobatkan menjadi salah satu dari lima warisan budaya Indonesia tak benda yang berasal dari Aceh, di samping Tari Dampeng (Aceh Singkil), Tari Bines (Gayo Lues), Tari Rapai Geleng (Aceh Barat Daya), Tari Rabbani Wahed (Bireuen). 

Sejak saat itu, Pinto Aceh terus menjadi perhiasan yang sangat populer dan juga paling diminati, tak hanya oleh kaum perempuan di Aceh, melainkan juga oleh perempuan di luar Aceh. 

Seiring waktu, motif Pinto Aceh tidak hanya terdapat di perhiasan bros, namun sudah merambat ke perhiasan-perhiasan lainnya. Bahkan kini, motif Pinto Aceh sering kita jumpai pada barang berbahan dasar kain seperti baju, mukena, tas, sarung dan lainnya. 

Sehingga motif Pinto Aceh sangat mewakili Aceh, apabila mukena tersebut memiliki motif Pinto Aceh, orang-orang akan menyebut mukena tersebut dengan “Mukena Aceh”. 


Komentar